Oleh: Roni Keron
Sejak setahun terakhir, jorong Sikabu-Kabu mulai ramai dengan aktivitas kesenian. Kehadiran sanggar seni Puti Ambang Bulan rasanya telah memberikan sumarakbaru dalam kampung. Nyaris tiap malam ada saja bunyi-bunyian yang terdengar dari rumah yang mereka jadikan sanggar tersebut, ada yang rutin berlatih tari, juga ada yang berlati hmusik tradisi Minangkabau.
Dengan adanya sanggar ini, tentu anak nagari Sikabu-kabu sedikit lebih maju dari pada anak-anak jorong lain. Paling tidak soal teknis memainkan instrumen musik. Mereka sudah memulai proses lebih dahulu dari yang lain, maka dengan santainya mereka menggarap sebuah komposisi musik secara bersama.

Uncu Hario, komposer muda Sumatera Barat, selaku fasilitator, akan berbagi pengalaman penciptaan musik kepada anak-anak sanggar Puti Ambang Bulan ini. Maka berkenalanlah mereka satu sama lain. Ada Ilva, Suci, Elvi, Yuvi, Iwan, Arif, dan Rara. Uncu yang begitu humoris tak membutuhkan waktu lama untuk bisa langsung canda-candaan. Uncu mencoba memancing obrolan dengan apa yang menarik yang bisa dimunculkan dari kampung ini. Barangkali hal tersebut bisa diwujudkan ke dalam musik, sehingga nanti ketika dipentaskan, masyarakat sebagai penonton bisa mengenali konteks karya yang tentu sangat dekat dengan mereka. Maka, mereka berangkat dari sebuah legenda. Puti Ambang Bulan, tak lain adalah sebuah legenda yang berkembangdi jorong ini. Oleh karena itu pula mereka menamakan sanggar mereka dengan nama tersebut.
Pada suatu masa, tersebutlah sebuah pulau, Pulau Guntuang. Pulau yang menjadi tempat diam seorang Puti cantik, Puti Ambang Bulan. Hiduplah masyarakatnya dengan tentram. Lalu, tanpa dinyana muncullah bahaya besar itu, Pulau Guntuang diserang oleh sepasanggarudo godang, yang begitu besarnya. Bayangkan saja ketika sayapnya mengepak maka tertutuplah sebagian pulau itu, hingga menjadi gulita. Tanpa ampun, garudo godang memakan segala manusia yang ada di Pulau itu.
Terbanglah seekor burung yang menjadi piaraan Puti, memberikan kabar kepada tentang bahaya besar itu. Manandin, begitu nama burng itu.Hinggaplah ia di Tanjung Bungo, tempat Nan Mudo biasa menghabiskan waktu.
Diceritakanlah kabar itu kepada Nan Mudo oleh burung Manandin. Merasa iba, maka berangkatlah Nan Mudo ke Pulau Guntuang dengan menumpang kapal Nan Kodo Baha yang biasa berlayar jauh, dan kerap singgah di Pulau Guntuang. Terang saja, Nan Mudo tidak melihat satu manusiapun. Lalu ia memasuki sebuah rumah besar, mencari tauapakah ada orang di dalamnya, ia mencoba berkelakar dengan burung Manandin. Maka tertawalah seorang perempuan dari atas anjungan rumah besar tersebut. Kiranya, Puti Ambang Bulan selamat dari bahaya besar dengan bersembunyi di anjung rumah besarnya.
Setelah mendengar cerita dari Puti, maka disusunlah rencana untuk membunuh garudo godang tersebut. Garudo godang akan muncul jika ada api dan asap. Maka, dibuatlah api sebesar-besarnya. Dengan sekejap muncul garudo godang, mengarah kepada asal asap dan api. Nan Mudo bersiap dengan sebilah pedang yang teramat besar, pedang Janawi namanya. Ketika garudo godang mulai mendekat dan membuka paruhnya besar-besar, saat itulah Nan Mudo memotong lidahnya, akhirnya terkaparlah seekorgarudo godang. Melihat pasangannya sudah jatuh terkapar, maka garudo yang satunya menyerah dan berjanji mau menjalankan perintah apapun dari Nan Mudo. Ia memberikan selembar bulunya, jika memerlukan dirinya maka bakar saja bulu tersebut, dan ia akan datang untuk memberikan bantuan. Maka selamatlah Puti Ambang Bulan dari bahaya besar.
Tak sampai disitu, ketika memutuskan mengajak Puti ke Tanjung Bungo, disini muncul persoalan baru. Nan Kodo Baha, seorang kaya raya yang punya kapal besar itu, melihat kecantikan Puti timbullah keinginannya untuk membawa Puti Ambang Bulan tanpa Nan Mudo, dan dengan akal bulusnya bisa mengecoh Nan Mudo, lalu berlayarlah Puti tanpa Nan Mudo bersama Nan Kodo Baha. Maka, dengan sekuat tenaga Nan Mudo merenangi laut besar itu. Begitu Nan Mudo kehabisan tenaga, garudo godang yang sedang terbangpun melihatnya, ketika ia bisa mengenali orang itu adalah Nan Mudo maka iapun segera menolongnya. Membawa Nan Mudo terbang ke Tanjung Bungo.
Sementara Nan Kodo Baha terlah mempersiapkan sebuah pesta besar. Rupanya ia hendak mempersunting Puti. Mengetahui kedatangan Nan Mudo, maka Nan Kodo Baha mengajaknya bertanding, yang menjadi pemenang pertandingan akan memiliki Puti. Tentu, pertandingan itu dimenangkan oleh Nan Mudo, dan mendapatkan kembali Puti Ambang Bulan. Senanglah kembali hati mereka.
Puti Ambang Bulan: mendendangkan kaba orang Sikabu-Kabu
Seolah seperti bakaba dalam tradisi oral masyarakat Minangkabau, legenda Puti Ambang Bulan pun kini menjelma kaba, dan disampaikan dengan kekuatan musikal. Sebagai tematik musikalnya, diambillah tema dari gua siamang tagagau. Sebuah reportoar klasik talempong pacik di Minangkabau. Tetapi, yang menariknya talempongpacik yang biasa dimainkan oleh tiga orang, dan masing-masing orang memainkan dua buah talempong. Selain talempong mereka juga memainkan gendang, dan vokal.

Saya kira hal ini cukup sulit, dimana ketika dua buah talempong dasar dimainkan oleh satu orang, kini dimaikan oleh dua orang berbeda, dengan memecah bunyi per pola ritme masing-masing. Begitu juga dengan dua buah talempong tingkah, yang biasa dimainkan oleh satu orang, kini dimainkan oleh dua orang berbeda, juga dengan memecah bunyi per pola ritme masing-masing.
Tidak hanya itu, mereka juga musti memainkan gendang satu perorang, talempong pun tidak difungsikan sebagai alat musik yang melulu melodis saja, juga sebagai instrumen yang memainkan ritmis-ritmis cepat bersamaan dengan gendang. Sudah hampir satu bulan latihan, namun keragu-raguan atas pola-pola yang dimainkan masih terlihat. Ketika Arif dan Suci memainkan talempong dasar Do dan Mi, tentu talempong tingkah Re dan Fa yang dimainkan Irwan dan Yuvi harus siap pula menyambutnya. Namun, acap kali mereka tertinggal hitungan masuknya. Sementara itu, Ilva juga harus tau dimana kala ia akan masuk dengan dendang.
Jika dilihat secara format, garapan ini hanya tediri dari talempong dan gendang, serta dendang vokal. Bagaimana kemudian mereka bermain-main dengan melodi talempong, pola ritme gendang, juga mendendangkan cerita Puti Ambang Bulan. Namun, lagi-lagi para pemain agak minder jika sudah bermain dengan vokal. Suara mereka tedengar malu-malu, dan tidak dengan nada dasar yang sama. Ini yang kemudian mengharuskan mereka untuk membuat sesi latihan khusus, yaitu olah vokal.

Tentu harapannya, sanggar ini tidak serupa dengan sanggar-sanggar kebanyakan. Dimana mereka dicetak hanya menjadi penari untuk kemasan pariwisata saja, tetapi lebih luas dari itu. Bagaimana kemudian sanggar bisa menjadi basis untuk kantong-kantong kebudayaan yang menginisiasi kegiatan-kegiatan kebudayaan, serupa program-program kesenian. Dan Puti Ambang Bulan ikut menginisiasi Legusa Festival.